Kamis, 24 Februari 2011

INTERMEZO LANGGAM "LIDAH TIDAK BETULANG"

malam minggu malam yang panjang malam yang asyik buat guyonan
guyonan baru, baru ditulis semoga dikau tidak menangis:
jatuh cinta ayo ta, tahan lama hayo ma, mati aku hayo ku, kurang bumbu
bumbu rindu, ayo du, duduk berdua denganmu......

"BUNG, ayo bung, kita rampungkan sebuah buku homor campur horor, tetapi tidak ada honornya. Gimana?" Begitu ajak dan ejekmu suatu waktu. Aku lalu seperti pesulap Tarno yang gemar bilang "Prok prok prok, bantu-bantu ya? Jadi apa tidak ya? Bimsalabim mamake bimbim manjat blimbing. Belimbing-belimbing wuluh, lha uenake untuk bumbu masak asem padeh (asem pedes). Iya deh, iya dong sayur lodeh sambel terong. Prok prok prok, jadi apa enggak sih? Sebagai Tarno yang parno, aku lantas nyanyi lagu Jawa "gendulak a gendhulik opo sido opo ora?".

LIDAH mas Heru Emka lalu menjulur keluar.Lidah mas Kurniawan Junaedhie lebih bervariasi, antara menjulur dan ditarik ulur.  Hah, apa yang terjadi? Lidah itu tiba-tiba berubah bercabang menyerupai cicak. Maka aku lantas nyanyi lagu anak-anak "Cicak cicak di dinding diam-diam merayap,datang seekor nyamuk huuuup lalu ditangkap". Setelah bosan menjadi pesulap Tarno, aku berubah menjadi penyair Goenawan Mohamad yang lalu spontan menulis: Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita. Yaitu nonsense....maka luruhlah gairah pada spresi basah di atas ranjang bergelombang, sunyi merayap di antara sendi dan sprei. Kenapa tidak percaya? Cinta itu seperti matahari pagi, yang menurut Sanusi Pane "memberi sinar selama-lamanya, dan tidak meminta sesuatu kembali, melainkan hanya cintamu senantiasa".

MAS Heru Emka menjadi sedih. Mas Kurniawan Junaedhie juga letih. Maka aku nyanyi lagi, kali ini judulnya "Playboy Cap Kuda Lumping" yang lirik lagunya kurang lebih kukarang begini: gambang suling kumandang suarane, tulat tulit tulalit tulalit kepenak unine. Unine mung nrenyuhake...(disambung "Cucak Rowo") manuke manuke cucakrowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune yen digoyang seeer seeer wuaduh penake! Lidah itu sampai kini tidak bertulang, setiap mengucap segala ucapan melayang-layang bertualang melupa jalan pulang. Aku lantas pingin nyanyi lagi: "pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku!". Nyanyian dan lagu tiba-tiba berhenti lantaran aliran listrik terputus. TAMAT deh.


Kota Beradat Jambi, Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar