Selasa, 22 Februari 2011

BUAH BIBIR KURNIAWAN JUNAEDHIE

AKHIRNYA, saya bisa memnulis catatan ini setelah terlebih dulu menyingkirkan banyak gambar dan tulisan yang membuat facebook kelebihan muatan. Bongkar muatan dengan mendelet banyak arsip tulisan dan gambar itu, ternyata asyik juga, apalagi sembari menunggu proses pendeletan yang lamban saya isi membaca kiriman buku "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" (Kosa Kata Kita, Februari 2011). Buku yang memuat 36 puisi Kurniawan Junaedhie (KJ) yang bertitimangsa 2010 dan 2011 ini tergolong ideal menjadi koleksi, lantaran (1) tipis, (2) bisa dibaca dalam suasana santai, dan (3) mengikuti jejak kreatif mas KJ--begitu saya biasa memanggilnya.

Pertama, buku ini tipis kemasannya. Buku tipis bisa dibawa kemana pun kita pergi dan dalam cuaca panas dapat difungsikan sebagai kipas. Meskipun kemasan buku ini tipis, tidak berarti tipis pula maknanya terkait dengan "sejarah" karya dan kekaryaan. Menilik pengantar buku ini, terbaca sebuah tekad dan semangat untuk berbuat lebih baik untuk diri dan masa depan karir penulisan. Mas KJ menulis tekad dan semangatnya seperti ini:

"Saya mulai menulis puisi--juga cerpen--di media massa sejak tahun 1974. Tapi sejak belakangan saja saya saya selalu berharap, agar --kalau Tuhan mengizinkan,-- setiap tahun saya bisa mendokumentasikan hasilkarya saya dalam bentuk buku. Karena saya kepingin jadi gajah yang mati meninggalkan gading. Meski saya harus buru-buru mengakui, saya bukan termasuk golongan penulis puisi yang produktif. Mungkin karena saya terlampau percaya pada ilham dan suasana hati."

Kata pengantar pada buku tipis ini menjadi penting dan memiliki makna justru di balikbuku yang dimaksudkan sebagai dokumentasi ini dapat dipandang sebagai "gading gajah" yang ditinggalkan, atau jika manusia, ia akan membubuhkan nama baiknya. Ya, mas KJ dapat dikatakan sebagai sahabat yang baik, penyair-cerpenis-jurnalis yang humanis. Tak heran buku yang memuat 36 karyanya ini asyik dibaca saat suasana santai. Kenapa? Ya, membaca karya mas KJ dalam buku ini pembaca diajak memasuki suasana santai, rileks, diajak rekreasi menikmati berbagai persoalan berat dengan gaya pengungkapan yang khas: puisi yang berkisah, bibir yang mendedahkan risalah, menyodorkan lanskap imajinasi melalui narasi-berita-sekaligus puisi.

Melalui karya di dalam buku ini,kita bisa mengikuti jejak kreativitas mas KJ. Maksudnya? Ya, dalam dunia penciptaan kreatif, setiap sastrawan senantiasa berupaya menemukan cara yang paling tepat untuk mewadahi pemikiran,perasaan, dan perenungannya. Karya-karya mas KJ (yang disebutnya puisi) dalam buku ini menunjukkan adanya ekaplorasi cara dan gaya pengungkapan. Dulu, dalam khasanah sastra Indonesia pernah populer genre cerpen pendek yang pendek (cerpenpen) dan karya-karya mas KJ dalam buku ini memiliki nuansa sebagai cerpenpen. Lalu, suatu masa di Indonesia juga mengenal genre puisi naratif dan puisi mas KJ dalam buku ini juga memiliki aroma seeperti itu. Pernah muncul pula genre "puisi suasana hati" atau puisi imajis, dan karya di dalam buku ini juga kental menyuguhkan imaji. Mas KJ--sadar atau tidak sadar--dalam karya-karyanya yang termuat dalam buku ini merupakan perpaduan antara cerpenpen, puisi naratif, puisi suasana hati dan imajis.

Menurut saya, saya beruntung dikirimi buku ini. Beruntung? Ya, sebagai pendidik,saya bisa membicarakan corak karya di dalam buku ini sebagai contoh eksplorasi cara dan gaya penulisan yang memadupadankan potensi penyair, cerpenis, dan sekaligus wartawan. Padupadan sudut pandang (dan pengalaman) sebagai penyair, cerpenis, dan jurnalis ini mampu menyuguhkan karya yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Buku tipis ini lalu mengingatkan buku-buku karya Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan zaman stensilan. Namun, sejarah lalu mencatat bahwa siapa pun peminat sastra mengenal sosok karya dan kekaryaan Chairil Anwar dan Amir Hamzah dengan buku tipis kemasannya. Menurut saya, tebal atau tipisnya buku tidak menjadi ukuran buruknya sebuah karya. Karya biasanya otonom dan mampu berbicara sendiri ke hadapan khalayak masyarakat sastra. Dalam konteks ini, bukan bermaksud memuji, karya-karya mas KJ memiliki potensi seperti itu--mampu berbicara sendiri bagi para peminat sastra (Mungkin inilah sebabnya buku ini tak seperti buku lainnya diberi "prolog" dan "epilog" oleh orang lain).

AKAHIRNYA, untuk mengakhiri catatan ini, saya hanya mengajak kepada masyarakat sastra untuk membiasakan diri akrab dengan karya anak bangsa. Salam DAM,damai senantiasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar