Senin, 13 Februari 2012

SAJAK HUMOR PENYEMBUH KORUPTOR

Koleksi Karya Dimas Arika Mihardja:


HUMOR DI TENGAH MORALITAS ERROR DAN TEROR


PESAN PENULIS: membaca tulisan ini DILARANG super serius, tetapi tetap berpikir dengan nalar ya? Menghadapi sesuatu yang serius terkadang perlu dengan sikap santai, perlu sedikit saja sense of  humor agar penyakit kotor serupa koruptor tak mengembat celana kolor. Jika Anda berada di tengah sergapan teror, sebaiknya humor dijadikan tameng yang mengamankan dada yang digedor-gedor peneror. Hati-hati, di tengah kita yang namanya teroris tak sebatas yang bersenjata bom. Banyak teroris kini yang bersenjatakan aneh-aneh. Waspadalah!

HUMOR tak berkerabat dengan TUMOR. Humor jangan pula dimaknai sebagai eror. Hendaknya, kita menghadapi segala jenis kelamin masalah dengan sedikit rasa humor. Saat Gayus dan Markus banyak mengemplang pajak, misalnya, apakah kita juga akan mengemplang segala yang ada di sekitar kita? Saat bom meledak di mana-mana meledek kesiap-siagaan aparat keamanan, apakah kita akan diam saja? Dalam tradisi kita, saat lebaran misalnya, bukankah kita bisaa meledakkan kegembiraan lantaran telah sanggup berperang melawan teroris nomor satu, yaitu NAFSU? Saat seseorang dinyatakan lulus ujian sekolah, apakah tidak bisa meledakkan kegembiraan dengan mengucap syukur? Saat janda pahlawan diadili lantaran menghuni rumah dinas selama bertahun-tahun tak membayar lantaran memang tak punya uang, saat pemungut kapas atau semangka yang tergeletak di jalan atau pemungut biji kakau didakwa sebagai penjahat dan diadili kita tidak bisa meledakkan pemikiran dan kebenaran? SSSST JANGAN SERIUS GITU  DONG.

MORALITAS bobrok, mentalitas seperti borok, teror selalu menggedor-gedor. HUMOR akan jadi semacam katarsis yang dapat mencerahkan. Sukailah humor pada saat yang tepat, jauhi teror dan moralitas eror. Hayo, kita bersama-sama mengebor sukma, membahasakan pemikiran kita. Sekali merdeka, tetap mencinta. Sekali berarti, hayo bikin yang lebih berarti lagi. Saat polisi tak punya kekuatan, tulis dan bacakan puisi. Saat politisi kehabisan akal sehat, semisal mau menyusun PERDA KEPERAWANAN, itu kan sebuah lelucon paling lucu? Saat aparat birokrat saling merapatkan barisan untuk berbagi-bagi rejeki dari tanah air yang subur ini sembari melupakan visi dan misi saat kampanye, itu juga merupakan homor yang luar biasa lucunya. Hayolah tertawa. Mentertawakan kedirian kita. Siapa yang sanggup mentertawakan kedirian diri sendiri, maka kemerdekaan telah mendekat.


Kota Beradat (Bersih Aman dan Tertib), 2010


SENJA DI BERANDA DADA
BUNDA BERGAUN MUDA
MERENDA CINTA SAAT RABUN SENJA

Tahukah engkau ada apa di beranda?
di beranda duduk seorang bunda bergaun muda
dadanya sedikit terbuka, ada luka bekas gigitan serangga
yang menyerang membabi-buta di malam gulita.

Saat rabun senja, bunda begaun muda itu merenda cinta
segala yang bernama luka dijahitnya saat mata mulai rabun
di ujung senja. Tak bosan-bosannya bunda bergaun muda itu
merenda cinta di beranda dadanya yang luka.
Kenapa? Engkau serupa kura-kura dalam perahu
pura-pura sok tahu :  “aku tahu di beranda dada ibu
begaun muda itu bergelantungan buah kehidupan; aku tahu
di belah dadanya ada luka gigitan serangga yang secara gila
membabi buta menyerang dada bunda bergaun muda itu
persis di belahan dadanya!”

Senja benar-benar jatuh cinta di beranda senja
dada bunda bergaun muda itu pun nganga terluka
akibat terkena gigitan serangga yang menyerang membabi buta
maka demam berdarahlah bunda bergaun muda itu
maka mala rindu menjadi candu yang menggelora
menyeru di rongga dadanya. Terus? Engkau tak sabar
menanti kelanjutan ceritanya.
“Saat rabun senja bunda bergaun muda ituselalu saja berusaha keras
Melihat bekas gigitan sersangga yang menyerang membabi buta
dan berusaha merenda luka-lukanya, lalu berkata: “sudah bebas dada bunda
dari serangan hama dan segala senggama serangga
sebab telah kurenda kawat anti nyamuk di dada bunda!”



Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010


RAHASIA
DI BALIK NAMA
YANG BOLAK-BALIK MENGEJA MAKNA

Tahukah kalian ada doa di balik nama-nama?
Dimas, misalnya, suka gemas mengucap doa-doa:
“ya, Allah telah Kauremas aku usai keramas
saat segala geliat memuncak di ubun
saat menyenggamai malam gelap gulita
saat mata wudun (atawa bisul) hampir meledak dan meledek kecengenganku”
maka jadilah Dimas berkali-kali keramas, mandi jamas
sambil meremas-remas sendiri barang paling berharga miliknya:
bisul yang nyaris meledak itu!

Arika, misalnya, di balik doanya mengucap
“ya, Allah tumbuhkanlah kumis di atas bibirku
seperti  kumis kucing yang bisa jadi obat malaria
tumbuhkanlah keberanian mencinta seperti Arjuna
sendiri bertapa di dalam goa ingin mendapatkan wangsit”
maka Allah menjadikan Arika menjadi penjual mie pangsit
sepanjang jalan menjerit-jerit: “Pangsit! Pangsit!”

Mihardja, misalnya, di balik doanya berharap
“ya, Allah telah kueja segala makna cinta
kini jadikanlah Indonesia subur makmur
seperti sumur tanpa dasar mengalirkan jernih airnya bagi sesama”
maka jadilah Mihardja penggali sumur dan penggali kubur sendiri!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,  Jambi 2010-10-03



KISAH KASIH SRI MENANTI
SAAT SUAMINYA JADI KULI
MEMIKUL LUKA DIRI


Ini kisah kasih seorang wanita bernama Sri Menanti.
Kenapa Sri Menanti? Tak sabar kau bertanya
Menanti apa? Sergahmu pula
Menanti menantu, jawabku asal menjawab.

Muasalnya begini lho saudara-saudara sebangsa dan setanah air
Sri Menanti suaminya yang bernama Bang Toyyib
Lha yang namanya Bang Toyyib ini kan sudah 3 x lebaran
Tak pulang-pulang; maka Sri menanti setia menanti sembari menyanyi:
“Bang Toyyib, Bang Toyyib lama tak pulang-pulang
Anakmu (anakku juga) ingin kau peluk (aku juga tentunya)
Sudah tiga musim engkau pergi bang
Dari musim duku, durian, dan musim kawin
Pulang lah bang, anakku kangen (aku juga dong)
Pulanglah bang, anakmu (anakku juga) merindu
Dan aku merinding bang. Sungguh! Merinding disko gitu loh
Lantaran bang Toyyib tak juga pulang, Sri Menanti mengubah namanya
Jadilah dia dipanggil Sri doing!



Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



SURAT BANG TOYYIB
BUAT SRI MENANTI
YANG SUNGGUH DICINTAI

Kupanggil namamu Sri. Lantaran suka menanti kedatanganku
Lalu kautambah namamu menjadi Sri Menanti
Di balik namamu Sri ada puja-puji.

Tahukah engkau Sri, di dada Dewisri
tertanam subur padi dan sayurmayur
di sepanjang selokan dan kelokan banyak ikan
dan udang yang tubuhnya bengkok itu lho
 Tahukah engkau Sri, di dadaku tak ada udang di balik terasi
tak ada harta duniawi selain puisi
"Sri, ndang balio" (lho lho lho kok malah nyanyi campursari?)
yo gak apaapa to mas mas, nyanyi campursari bisa jadi doa pujapuji, iya to?

Sri, aku masih mencintaimu
Masih kuingat gigitanmu saat berciuman di malam minggu
Di bawah pohon randu itu lho. Ciumanmu membuatku demam
Sakit sari awan seminggu lamanya
Sri aku rindu kaugigit lagi saat ini
Ya, saat ini aku tak kuwatir kok, sebab sebelum berciuman
Telah kusiapkan serum anti rabies dan anti tetanus!

Salam MPRS ya?
Mesra Penuh Rasa Sayang

(cap jempol plus cap bibir)
Bang Toyyib


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



KHO PING HO
MAIN PING PONG
DI BAWAH POHON DONDONG


"Cuilan Seng, ayo main ping pong", ajak Tong Kosong
"Ajak juga Kho Ping Ho ya? begitu bunyi pesan singkat di ponsel Cuilan Seng
Cuilan Seng pun membalas SMS itu
"haiya, sole-sole (baca: sore-sore) main ping pong uenak ya?"
Balas Tong Kosong, "lewih enak (baca: lebih enak) main di bawah pohon dondong ya?"

Di bawah batang pohon dondong mereka main ping pong
Kho Ping Ho dikenal handal memainkan jurus-jurus servis
bola ping pong itu pun dilempar tinggi ke langit
aneh, bola itu tak jatuh-jatuh juga, mungkin tersangkut barangkali
tak sabar menunggu bola itu jatuh, Kho Ping Ho melempar bad ke langit
bad itu pun mengenai buah dondong dan berjatuhanlah buah itu
persis di kepala Kho Ping Ho "wadow, Cuilan Seng tolong aku"
Cuilan Seng pun bergegas lari ke dapur memungut pisau dan cobek
(lho, untuk apa pisau dan cobek itu? okelah kita tunggu bersama ya?)

Cuilan Seng menggelar tikar di tanah lapang
Cobek dan kelengkapannya seperti ulekan,cabe, kacang, dll
tengadah ke angkasa luas; dengan gemas Cuilan Seng mengupas
dondong-dondog itu dan Kho Ping Ho dan Tong Kosong cuman bengong aja
kata Cuilan Seng "darilapa (maksudnya daripada) bengong
hayo rujakan bersama kan enak?
Meski kepalanya masih bengkak Kho Ping Ho terpaksa makan rujak
Sialnya, baru gigitan pertama, sebiji cabe rawit tergigit
"Wadow, kalau gini mataku bisa tambah sipit nih" rintihnya
Sesaat kemudian, saat Kho Ping Ho masih bengong
bola ping pong yang dilambungkannya ke langit itu
jatuh persis di tengah cobek
"Haiya, ini rujak dondong campur bola ping pong. Haiya..."


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



WISATA KULINER
BERSAMA TURIS ASING
DARI KOTA KE KOTA


Seorang turis asing, dari Amerika
Wisata kuliner dari kota ke kota
Aku yang lugu baru belajar jadi pemandu
Perjalaman dimulai dari Madura.
Kuliner yang amat dikenal di daerah ini ialah sate ayam
Dan sate kambing.

“Ini apa?” Tanya turis asing itu.
“Ini sate ayam. Sate adalah makanan khas berupa daging ditusuk
Lalu dibakar, tepatnya dipanggang”.
“Ya, ya, lha apa itu ayam? Tanya turis itu ingin tahu.
“Ayam adalah sejenis binatang berkaki dua”
Si turis Amerika yang biasa mengandalkan rasionalitasnya
Mengolah informasi tentang ayam sebagai binatang berkaki dua.
Suatu sore, kami putuskan untuk makan sate kambing.
Si turis sudah memahami makna kata sate sebagai daging yang ditusuk
“Apakah kambing itu?” bertanya si turis ingin tahu
“Kambing adalah sejenis binatang berkaki empat”
Si turis pun merekam makna kata “kambing” di dalam otaknya.

Sampailah perjalanan kami di kota Surabaya.
Di pinggir jalan turis Amerika itu membaca tulisan di warung tenda
“Sate Madura”, si turis lalu mengandalkan rasionalitasnya
Menganalisis, sate  ialah makanan khas daerah berupa daging yang ditusuk.
Sate ayam bahan dasarnya berupa daging ayam. Ayam adalah binatang berkaki dua
Sate kambing bahan dasarnya daging kambing. Kambing adalah binatang berkaki empat.
Si turis asing itu pun bertanya “Madura itu binatang juga ya?
“Hus, Anda tak boleh berkata begitu lagi. Itu SARA.
Madura ialah wilayah atau tempat asal usul sate yang sudah terkenal”.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



NAIK PESAWAT TERBANG


Adalah serombongan warga kampung dari pelosok Sumatera Barat
naik pesawat terbang ke Jakarta. Rombongan dipimpin oleh kepala desa, tua-tua adat, dan masyarakat biasa. Segala perbekalan telah disiapkan: ada lontong, rendang, cincang hati, sambel lado, sambel cabe hijau. Rombongan secara tertib memasuki badan pesawat.
Sesaat sebelum pesawat tinggal landas, seorang pramugari berdiri memberi instruksi dan informasi: "Selamat datang di pesawat kami dengan nomor penerbangan 007/jamesbond/intel di pesaawat ini ada empat pintu, dua di dada depan dan dua di belakang di dekat ekor.
Pesawat ini anti teror, bebas asap rokok, dan aman dari perampokan.

Warga kampung itu pun seperti dikomando, masing-masing mengeluarkan rokok
dan menyalakannya; mengeluarkan lontong masing-masing dan memegangnya;
mengeluarkan anggota badan lainnya sembari melepas busana masing-masing. Pramugari bingung atas ulah penumpang, ujarnya sabar dengan senyum melebar "para penumpang sekalian
bebas asap rokok tak berarti bebas merokok; aman tidak berarti bebas melepas busana. Terima kasih atas segala perhatiannya. Selamat terbang bersama kami. O, ya,l upa jika mau buang hajat
ada toilet di depan dan di belakang; manfaatkan toilet saat pesawat sudah terbang. Jangan berebut dan saling sikut saat buang hajat. Sekian, terima kasih."

Kepala desa dan tua-tua adat saling pandang. Lalu terjadilah kesepakatan diam-diam. Tetua adat itu lalu berdiri, menggantikan posisi pramugari dan berujar, "Asalamualaikum wr.wb. Saya mewakili penumpang sekaligus sebagai tetua adat menyampaikan ucapan terima kasih atas keramah-tamahan tuan rumah di pesawat ini. Segala petuah dan nasehat tuan rumah akan kami taati. Kami atas nama penumpang pesawat ini tidak bisa memberikan apa-apa selain lontong sayur, sambel cabe ijo, dan cincang hati kami. Kami ikhlas, rela berkorban demi kebaikan bersama. Sebelum pesawat benar-benar terbang, marilah kita berdoa yang akan dipimpin oleh pak Haji Ramli yang telah 7 x naik haji. Silakan pak Haji Ramli memimpin doa selamat. Doa selamat telah sama-sama kita ucapkan. Kini tiba saatnya kita bersamaa-sama menyantap hidangan yang telah tersaji. Demikianlah sambutan kami kalau ada jarum patah,jangan disimpan di dalam peti;kalau ada kata salah, jangan disimpan di dalam hati.
Wassalamualaikum wr.wb"



Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010





SEKITAR PEMILU KADA

Saya perkenalkan tokoh-tokoh utama ya? Tolong bantu tepuk tangan, ya?
Prok prok prok, ini bukan sulap bukan sihir. Tak usah berpikir.
Tak usah kuwatir. Hayo mau jadi apa? Bupati? Sekwilda?

BUPATI, berarti buka paha tinggi-tinggi. Semakin tinggi paha dibukak
semakin tampak vitlitas kehidupan. Semakin tinggi pajak daerah
semakin meriah bagi pengusaha mewah. Makin lemah bagi kakilima.
Bupati bukanlah istri, bukan perempuan. Bukan juga panglima tertinggi.
Bupati dibantu SEKWILDA untuk unjuk kinerja.

SEKWILDA, sekitar wilyah dada. Hah? Engkau terperangah.
Maksud sekitar wilayah dada? Ya, semestinya saat bupati
membuka paha tinggi-tinggi, sekwilda turut beraksi.
Paling tidak menjadi saksi bahwa soal tata pemerintahan
harus didasarkan pada buka paha dan sekitar wilayah dada.
Maksudnya? Ya, di dada ana nurani dan di sekitar paha ada muara
yang semestinya melahirkan produk pembangunan sumber daya manusia.

 Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



CERITA SATPAM
YANG TERTAWAN
OLEH TAWA PERAWAN

ADA seorang perawan manis wajahnya. manis senyumnya. Manis perilakunya. Manis segalanya. Adalah kewajaran jika kemudian semut-semut berbaris di alis matanya. Wajar juga jika ada rekah tebu di bibirnya. Saat perawan itu tertawa, banyak nian yang tertawan. Seorang satpam lengkap dengan pentungan di tangannya menelan ludah sembari memandangi pentungan di tangannya. Pentungan itu hitam, agak panjang, dan paaaaasssss jika dipegang. Satpam itu hanya membayangkan pentungan miliknya digenggam sang perawan yang menawan hatinya. Satpam itu mendadak sontak menjerit kesakitan saat pentungan miliknya tiba-tiba ada yang merebut dan bahkan merenggut paksa pentungan itu. Wadouw, jeritnya. Ini pentungan kebangganku. Tanpa pentungan ini, apalah artinya hudupku.

 SATPAM yang kulitnya hitam dan pentungannya juga berwarna hitam itu diam-diam menggenggam pentungan miliknya. Diliriknya perawan yang tertawanya telah menawan hatinya. Diam-diam, ia menggenggam pentungan hitamnya. Diam-diam ia menelan ludah saat perawan yang menawannya kembali tertawa memperlihatkan barisan mutiara berkilau dari giginya. Ternyata, gigi yang berkilau itu adalah emas murni 24 karat. Itu sebetulnya yang membuat satpam terpikat. Satpam itu membayangkan, alangkah bahagia hidupku bila berkesempatan menjual satu persatu gigi emas yang dikenakan perawan yang suka tertawa dan telah menawan hatinya itu.

 PERAWAN yang suka tertawa dan telah menawan satpam itu kembali tertawa. Saat perawan itu membuka mulutnya, Satpam itu pun mengendap-endap sembari memegang pentungannya. Pentungan hitam yang digenggamnya itu lalu dipukulkan pada barisan gigi perawan yang sedang tertawa dan membuat satpaam tertawan. Maka terjadilah yang harus terjadi. Gigi perawan yang suka tertawa dan telah menawan satpam itu pun rontok. Wadow, jerit pilu perawan itu. Inikah pilihanmu, wahai satpam hitam berpentungan hitam? enyahlah menjauh dariku. Telah kaurontokkan gigiku dan kau rampo kemas-emas itu. Satpam itu benar-benar tertawan sekarang, duduk sebagai pesakitan dan didakwa sebagai tawanan penjara. Nah lho, makanya hati-hati menjaga pentungan. Jagalah pentungan kalian masing-masing dan simpanlah pada tempat yang paling aman. Amin.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010




CERITA MINI TENTANG ROK MINI
DI METRO MINI
SAAT MELINTAS DI MINIATUR INDONESIA
YANG TAK INDAH


MINI tergopoh-gopoh merogoh sesuatu di dalam rok mini. Rok mini itu sedikit tersingkap saat metro mini serong kiri lalu serong kanan, serong kiri lagi lalu serong kanan lagi. Saat itu MINI yang mengenakan rok mini sedang menaiki metro mini dan melintas di miniatur Indonesia yang tak indah. Lho, kan dulu namanya Taman Mini Indonesia Indah to? Apakah sudah ganti nama? Seseorang entah siapa dia. Yang jelas seorang lelaki. Lelaki itu bengong aja memandang rok mini yang dipakai Mini saat bersama-sama naik metro mini.

MINI, Mini, kenapa rok minimu tersingkap dan kenapa tergopoh-gopoh merogoh sesuatu di dalam rok minimu? Sssst, mas mas pertanyaanmu itu lho bikin gemes. Emang gue pikirin? Apa pun yang kupegang kan urusan pribadiku? Mas, mas, kayak tidak tahu aja. Lihatlah metro mini ini sebentar-sebentar serong kiri, sebentar-sebentar serong kanan. Kayak lagu poteng bebek angsa aja. Emangnya jalan raya ini milik nenek moyangnya apa? Enak saja main serong kiri dan serong kanan. Itulah yang harus kupegang. Menyelamatkan alat vital.

ALAT VITAL? Ya, alat vital. Jaman gini tak punya alat vital kan cilaka tiga belas tuh. Mas, mas, kayak gak tahu aja bahwa di dalam metro mini selalu saja ada copetnya. Tak hanya dompet yang dicopet sekarang, melainkan juga alat vital. Ngerti nggak mas maksudku? Lha, hiya dong. Alat vital harus diselamatkan dari jamahan orang. Jangankan dijamah, dilirik pun kalau bisa jangan. Itulah sebabnya saya tergopoh-gopoh memegang dan menyelamatkan handphonekul. Dalam batin, lelaki yang pringas-pringis yang dipanggil "mas" itu pun blingsatan, sebab senyatanya dirinya tak lain adalah copet itu sendiri.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



AYAM GORENG DAN KUCING GARONG


Pernahkah kau merasakan ayam goreng dan mendengar lagu kucing garong? O, belum pernah? Mendengar lagu kucing garong sambil memasak ayam goreng sembari ngemil kacang garing bisa mendatangkan sensasi luar biasa lho. Sebagai warga negara yang mencintai tanah tumpah darah Indonesia jangan mau dibilang orang kampung gara-gara suka makan ayam kampung goreng. Ayam kampung goreng garing lebih lezat ketimbang KFC. Apakah enaknya KFC, Jika anak-anak kita lebih memilih KFC ketimbang ayam kampung goreng garing, pertanda telah dijajah oleh sikap hidup hedonis, pragmatis, dan konsumeristik. Halah, kok serius amat jadinya? Amat aja tak pernah serius kok.

Begini lho saudara sebangsa dan setanah air. Ayam goreng garing yang kita miliki senyatanya lebih lezat ketimbang KFC. Di daging ayam kampung biasanya dilumuri rempah-rempah yang melimpah. Rempah-rempah ini pulalah dulu menjadikan bangsa kita jadi terjajah. Saat dijajah, segala rempah-rempah dan hasil bumi lainnnya digarong dan diboyong ke negeri penjajah. Belanda,misalnya, negerinya hanya kecil saja dan itu pun banyak laut daripada daratnya. Itulah sebabnya dulu Belanda menjadi bajak laut, merampok harta kekayaan kita untuk dibawa ke negerinya. Tah heran lalu ada kota Rotterdam. Kota ini dibuat dengan membuat dam, bendungan laut, dan untuk membendungnya itu biayanya darimana? Tentu dari hasil rampokan daribumi kita. Lho, kok jadi serius begini? Katanya sajak humor?

Begini lho saudara-saudaraku. Ayam goreng enak dimakan sembari mendengarkan kucing garong. Setelah makan ayam dan mendengarkan lagu kucing garong, marilah santai sejenak sambil ngemil kacang garing. Boleh sambil berbaring miring. Atau boleh juga uring-uringan lantaran kantong mulai mengering. Hei,tapi jangan coba-coba membanting piring ya? Sebentar lagi aku mau makan ayam goreng garing sembari mendengarkan lagu kucing garong. Hei, jangan kau garong ayam gorengku ya? Kalau kacang garing sih kuikhlaskan,sebab aku tak mau lagi jerawatan.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



SAAT ORANG DAERAH BERGAIRAH
NAIK PESAWAT
SEBELUM DARAH TERTUMPAH
ADA AMANAH BERCAMPUR AMARAH

PESAWAT terbang yang kami naiki melayang-layang di udara, menembus mega, mengangkangi gunung dan melintas di atas lautan Indonesia. Dari atas, terlihat pulau Kalimantan serupa Semar yang terpotong gundulnya (sebab sebagian kan milik Malaysia?); pulau Sulawesi serupa huruf "K" seakan-akan sebagai simbol "korupsi"; pulau Irian Jaya, kini disebut Papua, bentuknya meyerupai buaya darat; pulau Jawa tampak seperti ikan cucut dengan mulut terkatup; pulau-pulau lain tampak seperti titik, bercak, atau noktah.

DALAM pesawat, aneka suku bangsa tampak bergairah menikmati lalulintas udara. Ada Jawa, ada Minang, ada Palembang. Mereka asyik  bercanda dan berceloteh tentang kebanggaan jadi putra daerah. Lantaran di Indonesia sedang musim cuaca ekstrem, tiba-tiba pesawat  oleng ke kanan, oleng ke kiri, terbanting dan miring. Tampaknya musibah akan melanda. Tampaknya darh akan tertumpah. Tampaknya mulai terlihat orang-orang tidak lagi amanah, melainkan penuh dengan amarah. Si Jawa berjalan mendekarti pilot dan berbicara pada co-pilot, "Mas, jika pesawat ini jatuh, arahkan saja ke tengah sawah ya? Saya masih punya kerjaan yang belum selesai". Dasar Jawa, setiap saat yang dipikirkan hanyalah soal pekerjaan. Apakah ini semacam tradisi bagi etnis Jawa? Lha, setiap ditanya "mau kemana mas?" selalu dijawab "mau cari kerjaan".

SEMBARI menahan amarah, si Palembang mendekati pilot dan berbicara pada co-pilot, katanya "Jika memang benar pesawai ini tak bisa diselamatkan, tolong arahkan ke dekat sungai Musi ya bang? Kalau pun pesawat ini jatuh dan aku nanti meninggal, biar orang sekampung tahu bahwa aku pernah naik pesawat". Si Minang tidak mau ketinggalan. Ia mendekati pilot dan berbicara sama co-pilot, katanya "Onde mande, pesawat ini mau runtuah yo? Sebelum runtuah dan jatuah, ha, tolong kembalikan duitku separo". Dasar Minang, setiap saat yang dipikirkan uang dan uang melulu. Apakah ini terkait dengan tradisi bahwa setiap tegur sapa "mau ke mana uda?" dan biasa dijawab "cari pitih" (uang). Begitulah, lantaran kehendak Allah, pesawat tidak jadi jatuh.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010



NONTONG BARENG (NOBAR)
BUKA BARENG (BUBAR)
DAN PEPAYA GANTUNG


INI kisah kasih sepasang remaja yang sedang kasmaran. Sepasang remaja ini lagi demen menjaga kebersamaan yang dilandasi rasa cinta, setia, dan sekata. Sahdan, suatu malam Minggu yang seru, nyaris saja terjadi adegan saru. Lelaki itu melepas sarungnya, perempuan melepas gaunnya. Lelaki melepaskan burung kesayangannya, si wanita tertawa melihat burung pacarnya nyangkut di jendela. Berderailah tawa merekaa berdua saat si wanita menggoda dengan nyanayian masa kanak-kanak "Burung kakak dua, hinggap di jendela. Kakak sudah tua, burungnya juga tua. Tledung, tledung, tledung wakakak. Tledung, tledung,tledung wakakak kakak sudah tua".

MEREKA setelah puas tertawa bernyanyi dan berhaha hihi sepakat untuk unton bareng (NOBAR). Berjalanlah pasangan yang sedang asyik pacaran ini ke bioskup. Tapi lantaran duit pas-pasan, disepakati nonton layar tancap saja. Setelah usai nonton,layar sudah digulung, tinggal ada satu hal yang nancap. Apakah itu? Apakah yang nancap itu? (SENSOR BERLAKU).

Esok harinya, mereka berdua sepakat menghadiri acara buka puasa bareng teman (BUBAR). Adzan Magrib lantang berbunyi dari lounspeaker mushala. Suara adzan yang lantang itu persis dengan suara teriakan cacing perut yang luuapar banaget. Lelaki itu tak sabar, tangannya meraih gelas minuman, langsung meminumnya. Rupanya yang diminum itu cuka empek-empek Palembang. Karuan saja, dia meringis, bahkan sampai menangis sembari memegang perutnya yang pedih dan perih. Seperti Chairil Anwar barangkali, lelaki itu berseru "Maju, serbu, serang, terjang" sembari tangannya kembali menjangkau makanan yang terhidang. Cilaka tiga belas, dasar sial, saat menggigit bakwan, tergigit pula cabe rawit yang ditancapkan di tubuh bajwan (bakwan lho, bakwan, bukan perawan) itu. Lelaki itu tentu saja tulung-tulung, lalu berlari sembari berteriak "luka dan bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih dan perih, dan aku akan lebih tidak peduli akan kusikat pepaya gantung di kebun orang". Demikianlah kisah NOBAR, BUBAR, DAN PEPAYA GANTUNG. Tulung, sekarang kembalikan sarung pemuda itu. Kasian, dia tak punya ganti lagi.

(TIDAK BERSAMBUNG LHO, UDAH TAMAT)


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi Oktober 2010


JALAN "TOL" ATAU JALAN "TIL"?
KENAPA "TOL"?
KAPAN "TIL"?


KOSA kata bahasa Indonesia setidaknya memiliki makna khas. Kata yang berakhiran "il" pastilah memiliki makna kecil. Misalnya "kerikil" maknanya 'keri di sikil" atau geli di kaki. Kenapa geli? Ya lantaran kecilnya itu. Kalau "il" itu kecil, "al" bermakna  lebih besar daripada "il:, misalnya "kerakal", atau "koral", atau "kopral" (kopral itu tergolong kecil to?). Beda dengan "il", "ol" punya makna lebih besar. Contohnya? (Carilah sendiri, ini sebagai pekerjaan rumahmu lho).

KENAPA dinamakan jalan TOL dan tak pernah dinamakan jalan TIL? Dinamakan Tol karena yang meresmikan pemakaian jalan itu laki-laki, seperti Soeharto atau bisa jadi Susilo Bambang Yudhoyono. Makanya saat peresmian dinyatakan "Saya  RESMIKEN pemakaian jalan TOL ini untuk meningkatkan pendapatan dan memperlancar segala urusan". TOL memang identik dengan lelaki: panjang-lurus-SEDIKIT BENGKOK-bebas hambatan (PALING-PALING SREMPETAN YANG TAK PERNAH SEREM, HANYA MEREM DAN MAREM).

KAPAN dinamakan TIL? Jalan yang akan diresmikan disebut jalan TIL apabila yang meresmikan perempuan. Perempuanlah yang memiliki TIL ini. Misalnya Ibu Tien Soeharto atau Mbak Tutut masing-masing punya TIL, misalnya di ditempat memompa sepeda anak-anak dan cucunya pastilah ada PENTIL, tempat memompa ban mobil mewahnya juga ada PENTIL. Saat anak dan cucunya mimik susu, terkait dengan TIL juga. Jalan yang DIRESMIKEN itu akan diberi nama jalan TIL. Maksudnya? Walah,samapeyan ini pura-pura tidak tahu juga makna "IL" dalam bahasa Indonesia. Baca lagi deh keterangan saya di awal tulisan ini. "IL" bermakna kecil, bikin geli, dan sedikit basah. Geli yang sedikit basah bisa disebut GELISAH, GWLI-GELI BASAH SAAT ADA YANG MEMBASUH. Jadi, GELISAH hanyalah padu padan kata anatara GELI dan SAH. Siapa pun yang telah sah sebagai pasangan suami-istri misalnya, berhak geli sampai basah.

Kota Beradat, Jambi 2010




GURU TAK RAGU
HANYA KATA ACAP  GAGU
SAAT NASIB MENYERU:  IBU!


Di Hari Guru, guru honorer itu tak ragu. Kata yang terucap dan nasib yang terkecap terkadang membuatnya gagu. Guru honorer itu mengeja masa depan, sebentuk kemapanan dalam menjalani profesi sebagai guru. Honor kecil yang semestinya diterima di awal bulan, saat dating bulan, membuat ibu guru itu blingsatan. Perutnya mules. Terasa ada yang meremes-remes dan membuatnya gemes, seperti lagu Iwan Fals: “Naik sepeda kumbang di jalan berlobang….”.

Guru yang tak ragu itu amat menikmati lagu itu. Saat mulai bersuara di depan kelas, mendadak suaranya gagu seperti sajak Rendra: Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat anak-anak tanpa pendidikan, menangis di bawah kaki mengangkang. Sarjana seperti onggokan jagung di kamar, tak bisa mendapatkan pekerjaan. Jalan lurus lengang. Pohon-pohon kaku mengejang. Ibu, aku tak ingat jalan pulang!

Ibu guru honorer itu melihat adegan horror saat honor tak kunjung dibayarkan. Saat honor tak kunjung diterimakan, hanya membeli celana kolor yang kendor pun tak punya kesanggupan. Tangan ibu guru honorer itu pun lalu gemetar saat nasib menyalibnya. Di muka pintu rumah, tangan ibu guru honorer itu pun kian gemetar: Ibu! Alangkah buruknya dunia pendidikan. Aku mau masuk kembali ke dalam rahimmu, ibu.


Kota Beradat, 2010




DIALOG IMAJINER
DI EMPER PERADABAN YANG ENCER


BROK BROK owok-owok brek brek ewek ewek,hallo, spada apakah ada cowok atau cewek di rumah ini? Begitulah seru penjual ember plastik anti pecah, anti rabies, antiseptik, dan anti bocor. Penjual ember itu masih berbrok owok owok dan berbrek ewekewek di depan pintu rumah. Aku yang saat itu kebetulan ada di dalam rumah spontan berteriak, "tunggu bang ember, tunggu di situ yo? Aku akan memeriksa diri dulu apakah aku cowok atau cewek. Sebentar yo, aku lagi melepaskan baju, sarung, celana, dan naggung nih. Tunggu to yo jangan keburu nafsu. Aku lagi memeriksa diri di depan cermin hanya untuk meyakinkan apakah diriku cowok atau cewek".

GUBRAK brok brok brek brek, kembali penjual ember plastik anti pecah itu mengadu ember yang satu dengan ember lainnya, persis di pantat ember. Lalu terdengar suara sember dan fals dari penjual ember itu, "Emang ember pikirin (maksudnya mungkin emang gue pikirin)? Tak cowok tak cewek, semuanya perlo cewok (bahasa Indonesia bakunya "CEBOK"). Saudara-saudaraku baik cowok atau cewek, jangan suka mewek terus. Cucilah dirimu dengan ember anti pecah. Maksudku, ember plastik anti pecah ini amat berguna bagi cowok atau cewek meembersihkan debu dari kotoran waktu. Sebelum sholat lima waktu, sebaiknya bersuci, mandi dan gosok gigi. Caranya, letakkan ember plastik pada tempatnya lalu tampung air (jangan menampung air mata di situ ya?). Setelah air tertampung, biar irit, masukkan badan dan anggota badanmu. Dengan begitu akan mengirit air yang kian lama kian defisit".

SEMPRUL tenan, penjual ember kurang asem, Lha kok nyindir aku? Aku kan lagi sakit gigi? Aku kan jarang mandi? Aku kan suka dan demen berendam di dalam air? Aku kan memang suka ngirit air? Aku kan suka menderaskan air mata keharuan? Lalu dengan gemas aku membuka pintu rumah. Maksudku akan memberi pelajaran pada penjual ember yang bibirnya dower itu. Begitu pintu terbuka, penjual ember matanya hampir meloncat keluar lalu tertawa sember "huakakak huakakak, pakai dulu dong celananya. Wakakak wakakak tuh burungnya kedinginan:. Aku baru nyadar, habis bercermin aku lupa mengenakan pakaian lagi. Dasar tukang ember plastik ora nggenah. Sialan, gara-gara terburu-buru aku jadi lupa menyelamatkan burungku.</


Kota Beradat (Bersih Aman dan Tertib), 2010
"dialog imajiner antara aku dengan penjual ember plastik anti pecah erry amanda


NGAKAK DI LAPAK KATA
MERANGKAK SEBISANYA
BISA-BISA LARIS DAGANGANNYA


Pak penjaga Lapak, orang-orang masih suka ngakak ya? Apakah mereka sudah jadi orang bijak yang taat membayar pajak? Hei, kata siapa pajak-pajak itu dibajak? Gayus? Ah, ia kan hanya pengurus antar-jemput pajak yang dibajak oleh prompak yang tak bijak-bijak juga? Bukan Gayus? Markus ya? Ya, Gayus dan Markus itu sodara kembar siam lho. Jika ngemplang pajak di siang bolong namanya Gayus dan saat malam gulita--saat tangan meraba-raba sisa pajak, namanya berubah jadi Markus. Sumpah mampus, aku mau ngurus pajak mobil bulan ini. Bukan lantaran mau dianggap orang bijak taat pajak, melainkan cuma mengihindari bertentangan dengan polisi saat mobil yang kukendarai dicegat di jalan, padahal mungkin saja saat itu aku sedang mengantarkan pesanan SAJAK EMAS: 200 Puisi Sexy Dimas Arika Mihardja ke setiap pemesan?

Masih ada juga yang suka ngakak sembari merangkak sebisanya ya? Hei, kalian jangan mentertawai aku saat mempromosikan BERANDA SENJA (Antologi Puisi Indonesia Mutakhir untuk Milad Setengah Abad Dimas Arika Mihardja). Perlu saudara sebangsa dan setanah air ketahui, menjual buku kumpulan puisi terasa lebih bergengsi ketimbang korupsi pajak seperti dilakukan oleh Gayus alias Markus. Penjual buku puisi bukanlah tikus yang menggerogoti uang negeri. Makanya, silakan sisakan sebagian dari hartamu hanya sebesar 50 ribu rupiah saja untuk tiap eksemplar buku. Dengan aset 50 ribu, saudara-saaudara akan mendapatkan pencerahan batin yang tak ternilai harganya. Jika sasa sasa (pura-pura gagap kayak Aziz gagap) saudara sebangsa dan setanah air serius memesan buku-buku itu (SAJAK EMAS dan BERANDA SENJA) jangan sungkan-sungkan menulis pesan di inbox Dimas Arika Mihardja ya? Di tunggu, tidak pake lama-lama ya?

PROK PROK PROK hayo tolong dibantu ya, kira-kira jadi apa ya? begitu ujar pesulap Tarno. Oya, terkadang aku seperti pak Tarno itu lho. Setiap hari menyulap kata jadi makna, menyulap makna jadi bunga, menyulap bunga jadi cinta, menyulap cinta jadi bahagia, menyulam bahagia jadi terasa di surga. Oya, aku kadang seperti Pak Tarno yang ndeso itu, menyulap kata di depan kelas jadi ilmu, menyulap makna bertegur sapa jadi saudara, menyulap silaturahmi jadi rejeki melimpah. Makanya, segera beli buku baru, yakitu SAJAK EMAS: 200 Puisi Sexy atau BERANDA SENJA. Hayo, hayo, kirim pesan melalui inbox facebbok Dimas Arika Mihardja. GRATIS TANDA TANGAN lho. Hahahahahahaha bersama kita ngakak di Lapak kata, merangkak sebisanya, siapa tahu akan tambah laris dagangannya. Hahahahahaha salam 123 sayang semuanya. Merdeka! Merdeka untuk berkata, merdeka untuk bertegur sapa, merdeka untuk berdiam diri saja. Tetap semangat!


Kota Beradat (Bersih Aman dan Tertib), 2010


DARA, SELAPUT ITU DARA
GARA-GARA JANDA MUDA
KAULEPASKAN JUGA IDE GILA


Saat DPRD  mengusulkan UU dan PERDA pemeriksaan keperawanan, JUJUR SAJALAH apa sebenarnya yang melintas di kepalamu, wahai wakil rakyat yang tak pernah jaga amanah. Gagasan kalian itu bukan amanat hati nurani rakyat, melainkan justru menambah PENDERITAAN RAKYAT. Aku mau bertanya, duhai, anggota Komisi IV yang suka mengembat komisi saat rapat. Uang komisi kau embat hanya untuk rapat, merapat di ruang gelap dengan kekasih gelap, lalu setelah ternyata kekasih gelap itu tidak lagi perawan, mendadak sontak terpikir untuk membuat undang-undang tes keperawanan bagi wanita yang mau masuk sekolah SMP, SMA, dan mahasiswa di perguruan tinggi?

GILA. Itu pikiran gila, atau tepatnya membabi buta. Lha, babi aja jarang yang matanya buta. Lha, sudah jelas pula tak ada babi yang jadi wakil rakyat. Tetapi kenapa pikiran menjadi gila dan membabi buta? Aku tahu, pekerjaaanmu memanglah rapat. Tepatnya suka saling merapat di ruang gelap peradaban, di ruang karaoke yang tak oke, di teras-teras pejabat teras, di pasar swalayan (maksudnya suka melayani diri sendiri dengan lalulintas uang di ruang gelap). Aku pun tahu, dulu saat menjelang pemilukada, kau memasang baliho besar-besar dengan wajah sumringah memamerkan gigi seperti iklan pasta gigi. Tahukah, di sela gigimu saat ini terselip cabe yang pedesnya bukan kepalang?

MUNGKIN engkau tak pernah berpikir mengenai hal-hal yang sederhana, tetapi memiliki makna luas dalam pranata kehidupan. Hal yang sederhana, apakah saaudara tidak punya anak perempuan? Apakah anak perawan saudara rela diobok-obok untuk diperiksa apakah masih perawan atau tidak. Andai tidak lagi perawan, apakah anak perempuan saudara tidak menjadi stres, tertekan, dan hilang masa depannya gara-gara tidak bisa melanjutkan studi? Ketika seseorang wanita, gara-gara kehilangan selaput dara (mungkin secara tak disengaja) tidak bisa melanjutkan sekolah atau kuliah, bukankah ini diskriminasi namanya? Kini, di ruang terbuka tanpa pintu dan tanpa jendela kukatakan padamu dara-dara penerus masa depan bangsa. Akan kujaga diri kalian dari pikiran sesat. Gara-gara janda muda yang tidak lagi perawan, yang didekap di ruang gelap, lalu muncul ide sesaat yang sesat: merapatkan undang-undang keperawanan untuk menjaga moralitas anak bangsa. Apakah kalian tahu? Menjaga moralitas anak bangsa tak bisa dicapai tanpa moralitas. Maaf, ya, ini bukan lagi puisi HUMOR, melainkan masuk kategori puisi HOROR. Sebuah pertunjukan yang mencengkam dan menegangkan di panggung parlemen. Beruntung ide gila itu ditolak oleh legislatif yang ternyata masih menyisakan kearifan. Salam budaya, singkirkan buaya-buaya darat yang suka mabuk laut dan ide gilanya menguap ke udara. MERDEKA!

Kota Beradat, Bersih Aman dan Tertib, Oktober 2010

BERCANDA DI WARUNG KOPI
BERBINCANG TENTANG PENYAIR DI IBU KATA
DAN PENGEMIS YANG SEMAKIN PANDAI BERDOA


Satu ketika di ibukata senja, aku, mas KJ dan Heru Emka santai di warung kopi (Bukan kafe lho, tempat paling afdol bagi penyair ya di warung kopi). Obrolan kali ini berkisar soal dosa pertama, penyair, dan pengemis. Mas KJ mengisahkan negeri Vampir dengan ciuman dan kecupan mautnya bagi setiap kekasih yang diincarnya. Mas Heru Emka malam itu hanya diam saja. Tak sedikit pun keluar suaranya, sebab sedang terserang flu beraat + batuk sehingga yang bernama suara itu tak kunjung keluar. Ia hanya sanggup berdesah "ah ah ah" setiap mas KJ selesai menuturkan cerita seru, lucu, dan sarunya. Malam itu, aku memilih menjadi mediator (kalau dalam diskusi namanya mungkin moderator, kalau di lapangan korupsi mungkin namanya "markus" (maklar kasus), yang secara khusus harus merangkum seluruh pembicaraan. Goyonan dan obrolan malam itu jika dirangkum hasilnya seperti ini:

 jika penyair ketemu penyair di warung kopi, jadilah puisi ringan tetapi mendalam, menyatakan cinta secara terbuka tanpa tedeng aling-aling (Aling masuk ke warung kopi enggak ya? Bukankah ada wanita penyair yang sering dipanggil (maksudnya disebut dengan panggilan Aling?). Saat rangkuman ini dibuat, ada suara kaing-kaing tak jauh dari warung kopi. "Apakah itu suara anjing?" tanya seseorang di warung itu dan dijawab "Masak kalian pada pangling sama suara penjaga keamanan kompleks?". Anjing yang pinter menyalak biasanya tidak galak. Seperti juga penyair yang pinter menulis sajak, berteriak di dalam sajak, menyatakan cinta di mana-mana, tetapi tetap menggelandang sepanjang jalan kehidupan.

terkadang penyair juga mengemis kata, meminta-minta kata, mengucapkan doa: duhai kekasihku, ingin kulumat bibirmu sekali lagi dan lagi dan lagi untuk mendapatkan sepatah kata "cinta" (gombal ah, rayuan gombal al, ah ah ah aku kecolongan ketinggalan kue tart). jika penyair telah sukses jadi pengemis, kelak akan lahir anak-anaknya di barak-barak warung kopi. anak-anak itu lantas berkembang biak penuh dengan bibir yang selalu ingin dikecup di mesjid, gereja, dan puri-puri manusia.Setiap pengemis yang datang di ibu kota setiap Kamis, berbondong-bondong ke mesjid saat Jumatan, pura-pura ikut sholat, padhal yang diincar hanyalah mengisi kotak amal untuk menghidupi anak istrinya sendiri. Pengemis-pengemis yang ikut sholat Jumatan itu pada hari Minggu, demikian cerita mas KJ, berbondong-bondong menuju gereja untuk ikut misa, padahal ia juga hanya mengedarkan kotak untuk diisi oleh jamaah untuk kehidupananak dan istri sendiri.

Salam 123 sayang semuanya hahahahahaha menikmati kemerdekaan sejati di negeri pusi enak juga ya?


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010


SANTAI DI MALAM MINGGU AH......

LANGGAM "LIDAH TIDAK BETULANG"
: nyanyian untuk heru emka dan kurniawan junaedhie


malam minggu malam yang panjang malam yang asyik buat guyonan
guyonan baru, baru ditulis semoga dikau tidak menangis:
jatuh cinta ayo ta, tahan lama hayo ma, mati aku hayo ku, kurang bumbu
bumbu rindu, ayo du, duduk berdua denganmu......

"BUNG, ayo bung, kita rampungkan sebuah buku homor campur horor, tetapi tidak ada honornya. Gimana?" Begitu ajak dan ejekmu suatu waktu. Aku lalu seperti pesulap Tarno yang gemar bilang "Prok prok prok, bantu-bantu ya? Jadi apa tidak ya? Bimsalabim mamake bimbim manjat blimbing. Belimbing-belimbing wuluh, lha uenake untuk bumbu masak asem padeh (asem pedes). Iya deh, iya dong sayur lodeh sambel terong. Prok prok prok, jadi apa enggak sih? Sebagai Tarno yang parno, aku lantas nyanyi lagu Jawa "gendulak a gendhulik opo sido opo ora?".

LIDAH mas Heru Emka lalu menjulur keluar.Lidah mas Kurniawan Junaedhie lebih bervariasi, antara menjulur dan ditarik ulur.  Hah, apa yang terjadi? Lidah itu tiba-tiba berubah bercabang menyerupai cicak. Maka aku lantas nyanyi lagu anak-anak "Cicak cicak di dinding diam-diam merayap,datang seekor nyamuk huuuup lalu ditangkap". Setelah bosan menjadi pesulap Tarno, aku berubah menjadi penyair Goenawan Mohamad yang lalu spontan menulis: Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita. Yaitu nonsense....maka luruhlah gairah pada spresi basah di atas ranjang bergelombang, sunyi merayap di antara sendi dan sprei. Kenapa tidak percaya? Cinta itu seperti matahari pagi, yang menurut Sanusi Pane "memberi sinar selama-lamanya, dan tidak meminta sesuatu kembali, melainkan hanya cintamu senantiasa".

MAS Heru Emka menjadi sedih. Mas Kurniawan Junaedhie juga letih. Maka aku nyanyi lagi, kali ini judulnya "Playboy Cap Kuda Lumping" yang lirik lagunya kurang lebih kukarang begini: gambang suling kumandang suarane, tulat tulit tulalit tulalit kepenak unine. Unine mung nrenyuhake...(disambung "Cucak Rowo") manuke manuke cucakrowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune yen digoyang seeer seeer wuaduh penake! Lidah itu sampai kini tidak bertulang, setiap mengucap segala ucapan melayang-layang bertualang melupa jalan pulang. Aku lantas pingin nyanyi lagi: "pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku!". Nyanyian dan lagu tiba-tiba berhenti lantaran aliran listrik terputus. TAMAT deh.


Kota Beradat Jambi, Oktober 2010


KISAH KASIH
CEMBURU DI COMBERAN
NONGKRONG DI EMPERAN
DIKIRA MALING JEMURAN


MALAM minggu, ayo pergi ke bioskup. Bergandengan ama koboy nonton pacar. Beli karcis, tahu-tahu bioskupnya tutup. Gulung tikar lantaran kalah bersaing dengan telenovela yang bikin teler, atau sinetron yang mempertontonkan mobil mewah dan wajah cakep-cakep. Gubrak, dasar sial sang pacar pacaran lagi sama orang lain lagi. Aku berbisik pada koboy " Koboy, Koboy, pinjem pistolnya dong". "Buat ape elu pinjem-pinjem pistol? Bukankah elu telah punya pistol satu?" Hei pembaca (kalau di lenong sapaannya kan "hei penonton") emang bener sih, aku punya pistol satu, gara-gara gak bisa dipake nembak pacarku lari ke orang lain yang pistolnya lebih gede dan lebih panjang.

"KOBOY, Koboy, lihat tuh pacarku nangkring di atas kuda. Emangnya lagi senang main kuda-kudaan apa? Emangnya kuda punya pistol apa? Lihatlah wahai Koboy sahabatku kelakuan pacarku itu. Masak matanya merem sambil naik kuda? Entar kalau jatuh bagaimana? Aku kan masih sayang sama pacarku itu? Pinjem pistolnya dong, aku mau nembak sekarang". Lantaran Koboy kasian sama aku maka aku berjalan ngendap-endap mencari sasaran bidik paling tepat. Mataku terus menatap pacarku yang asyik naik kuda. "WADOW, cilaka aku tercebur ke dalam comberan!. Dasar comberan gak pernah mau toleran, aku kan mau nembak pacar yang lagi naik kuda? Kok aku kausedot dan kaubenamkan di kedalaman lumpour bau seperti ini?"

USAI kecebur comberan, aku bersama Koboy duduk di sebuah emperan rumah bertingkat yang kelihatannya kosong. Mataku celingak-celinguk mencari sumber air yang dapat untuk membersihkan lumpur. Dari tingkat atas rumah kulihat air mancur lumayan deras. Aku bergegas mencuci lumpur dari air mancur itu. LHO KOK PESING? Pikirku,  eh tahukah wahai pembaca budiman, ternyata air mancur itu berasal dari sebuah sumber yang kemudian kuyakini kebenarannya: tuan rumah bertingkat itu kencing di tingkat dua, wajar saja air mancur dari atas menderas seperti air hujan. Saat aku tak sadar bilang WADOW, tuan rumah teriak "Siapa tuh? Mau maling jemuran ya?. Aku dan Koboy lalu lari terbirit-birit meninggalkan genang kenangan yang sial itu, tentu saja sambil terus memegang pistol masing-masing. TAMAT.

Kota Beradat, Oktober 2010
Tugas sebagai Pekerjaan rumah, rumuskan moral cerita ini!




KUMAT SETIAP MALAM JUMAT
KURAWAT JIMAT YANG NGUJIWAT
SENYAM-SENYUM SENDIRI KAGAK KUWAT
NIKMAT JUGA MELUMAT ASAP


SETIAP malam Jumat banyak yang mendadak kumat. Jantung dan pikirannya berdenyut lalu menyebut-nyebut nama yang dicinta. Setiap malam Jumat banyak bapak-bapak mendadak kambuh sakit maag, dengan mengaduh di dekat ranjang, "mah, mah, aduh maag". Lantaran istrinya sedang menyambut datangnya tamu bulanan, suami-suami itu semakin kumat di malam Jumat. Lmat-lamat aku mendengar suara di dalam kamar "gedebak-gedebug, gedebag-gedebok" lalu tak lama setelah itu sama sekali tak terdengar suara apapun atau nyaris tak terdengar ketika suami-suami itu ternyata diam-diam menulis puisi paling sexy: ini hari kamis, aku tak mau jadi pengemis cinta. ini hari kamis, aku hanya mau menadahkan tangan meminta limpahan rahmat semoga tidak kumat lagi. puisi ini ditulis di atas ratap gerimis saat gerhana bulan merisaukan kilau keemasan.

Malam Jumat, kurawat jimat yang ngujiwat (Ngujiwat=mempesona, membuat mesam-mesem karena kesengsem). Jimat artinya siji dirumat. Siji diruwat. Barangku yang satu malam Jumat kurawat dan kuruwat di atas kitab-kitab yang menyenandungkan ayat-ayat. Aku tak mau sekarat sendiri. Aku tak mau menggelinjang sendiri. Aku tak mau dicengkeram kesunyian yang memisteri. Aku maunya chemistry, larut-lekat-nyatu dengan sesuatu yang satu di bawah terang cahaya. Aku tak mau nantang bahaya. Aku tak hanya mau bermain dengan bahasa. Aku akan rawat anuku setiap Kamis malam Jumat. Biarlah orang menganggapku kumat, atau sekarat, yang penting aku berharga di mata-Nya.

Malam Jumat, senyam-senyum sendiri lantaran nahan rasa kagak kuwat. Kulepas kawat-kawat di gigiku. Kulepas busana kepalsuanku. Kulepas benang-benang kasih sayang yang menghiasi hatiku. Aku senyam-senyum sendiri melihat bayang melintas di tengah malam buta. Aku tak perlu meraba-raba, sebab bayang itu jauh dari jangkauan. Wajahmukah yang hadir di Kamis Malam Jumat? Hadirlah lagi ke sini malam ini, dari pada aku senyam-senyum sendiri kan gawat kalau ada orang menuduhku sedang kumat?


Kota Beradat, Oktober 2010


NONTON FILM KARTUN
NYANYI  LAGU MADU DAN RACUN
BIBIRKU MANYUN TERKENA KEONG RACUN

ANAKKU si kecil belajar, diasuh, dan dibesarkan oleh tayangan  film kartun. Sepanjang hari matanya tak berkedip mencermati polah tingkah dan ulah film kartun yang herannya tak pernah mati. Kucing selalu gemes ingin menangkap tikus. Kucing itu mengendap-endap, mengendus buntut tikus di lubang. Tikus-tikus itu selalu saja pesta berebut uang. Tak lelah si tikus itu menjilati uang, mencium uang, menelan uang yang bukan miliknya. Tikus-tikus itu tak pernah kenyang. Setiap hari merampok uang. Kucing mengendap dalam senyap. Kumisnya rontoh saat mengendus aroma tikus-tikus itu. Tikus memancing kucing memasuki lubang rahasia. Di dalam lubang rahasia itu tikus dan kucing sama-sama tertawa ngakak melihat manusia telah ditipu dan dibodohi. Di depan pintu lubang, sebuah tulisan dalam ukuran jumbo berbunyi: SUDAH BEBAS NEGERI INI DARI KORUPSI!

Ada lagi si IPIN dan si UPIN, menggeser peraan SI UNYIL. Kini si UNYIL sembunyi di kotak peradaban. Jarang ada pertunjukan wayang golek. Wayang golek tergolek di dalam peti. Tak ada lagi pangung kethoprak humor. Orang-orang diusik teror. Tak ada lagi panggung Srimulat, orang-orang mulai sekarat. Barangkali mereka bermain tragedi dan telah mati di dalam peti itu. Tak ada lagi boneka-boneka jenaka, yang ada justru manusia yang bertabiat serupa boneka. Bonek istilahnya. Bonek adalah bondho nekat. Nekat menjarah, nekat marah-marah, nekat memanipulasi sejarah. Coba lihat dan catat. Dulu di era ORBA, setiap menjelang akhir September dan awal Oktober, murid-murid sekolah digiring seperti bebek mendatangi bioskup untuk wajib nonton film Pemberontakan G 30 S PKI. Di film itu ada tokoh utama yang sesungguhnya bukan yang utama. Ada upaya menguburkan sosok luhur dan menonjolkan kekuatan diri. Aku masih ingat ucapan di film itu "Darah itu merah jenderal!" dan film itu pun dipenuhi oleh darah, penuh oleh gairah yang bisa jadi kemudian membuat anak didik menjadi preman, suka main kekerasan, dan jauh dari sikap kemuliaan. Adanya kemunafikan doang. Saat keluar dari bioskup, di sepanjang trotoaar saat itu mengudara lagu MADU DAN RACUN.

KINI anak-anakku bibirnya manyun. Disuruh belajar, ogah. Disuruh menyapu, kagak mau. Disuruh mandi dan gosok gigi, tak pergi juga ke kamar mandi. Dimatikan pesawat televisinya, ia mengambil remote lalu menyembunyikannya. Film kartun  tak selamanya lucu. Aku sungguh prihatin, sebab aku melihat penjajahan gaya baru disusupkan melalui film kartun. Itulah yang membuat bibirku tambah manyun saat di udara tersebar virus KEONG RACUN.


Kota Beradat, Oktober 2010


KIDUNG DI REMBANG PETANG
: nabila dewi gayatri, ki gambuh, dkk


kalau kaca bisa pecah
kalau cinta sudah merambah
aduh nyai, cintaku tak seperti sabun mandi
si centil monroe memang cantik
madona pun ciamik
tapi cintaku pada nyai sungguh tak terganti
(ini variasi "cinta sabun mandi" yang dipopulerkan jaja mihardja)

bukan sanak bukan kadang, yen mati aku melu kelangan
(maksudnya, aku bukan saudara kembar jaja mihardja
bukan pula ngefans padanya), aku hanya punya cinta pada-Nya
juga nabila dewi gayatri
juga ki gambuh yang lagi kambuh
juga mas agus dwijo yang guantengnya minta amplop
juga allief billah yang telitinya Audzubilah

nyanyi lagi yuk:
aduh nyai, dengarkanlah
aduh yayi bacakanlah lagi sajak emas
hei, kenapa tibatiba lemas dan cemas?
o, o, kamu ketahuan belum makan kan?
yuuuk bikin bancakan makan tumpeng di sanggar
sama menjumput kilau emas di hati kalian
sama mengerling serupa bulan keemasan
sama menyebarkan virus cinta:
salam DAM 123 sayang semuanya.


bengkel puisi swadaya mandiri, 2010



KUKIRA BEGINI NANTI JADINYA
KAU BERANAK
MENANAK NASIB
LALU KITA MENIKMATI SORGA


Di kamar  sesak ukuran 2x3 meter berdinding papan, Chairil Anwar dan Sri Ajati duduk di antara anak-anaknya yang tidur di lapak ruang paling sesak, di antara timbunan sajak. Kaca jendela yang nganga terbuka membuat kedua insan itu tampak dari luar kamar. Chairil Anwar berkali-kali menyedot rokoknya, dan Sri Ayati menyedot jempol tangannya. Kata Chairil Anwar, “kukira begini nanti jadinya, kau beranak pinak, tak ada nasi dan kau menanak nasib, tetapi sebentar lagi kita menikmati sorga”.

Sri Ajati pun kembali membaca sajak gubahan Chairil Anwar bertajuk SENJA DI PELABUHAN KECIL: kali ini tidak ada yang mencari cinta di gudang, rumah tua, cerita tiang serta temali; kapal berkakuan di pelabuhan…dan pada pantai keempat sedu penghabisan bisa terdekap. Oh, kakanda Chairil Anwar, aku sungguh menggigil kedinginan penuh keinginan malam ini. Anak-anak sajak sudah pada tidur, ayo dekaplah aku di hitungan keempat kalinya.

Begitulah, di kamar sesak ukuran 2x3 meter berdinding papan itu Chairil Anwar kembali merengkuh Sri Ajati. Mereka berdua seperti kapal di pelabuhan, melabuhkan jangkar dan mengikat tali pada tiang-tiang pancang menegang. “Oh, kakanda Chairil Anwar, seperti inikah rasanya debar? Seperti inikah enaknya saat tiang pancangmu bergetar dan mengejang?” Charil Anwar serupa binatang jalang lalu berujar lantang “Luka dan bisa kubawa berlari, berlari hingga hilang pedih dan perih, dan aku akan lebih tak peduli sudah berapa anak di lapak yang sesak ini. Sri Ayati, mari kita bikin puisi lagi dan lagi dan lagi sampai seribu tahun lagi”.


Kota Beradat, 2010


DI KOTA ITU, KATA GOENAWAN GERIMIS TAK JADI LOGAM
HANYA HUJAN DI HUTAN MENDERAS KE LUAS LAUTAN


ANDA tentu mengenal sosok Goenawan Mohamad yang menawan lantaran Catatan Pinggir di Tempo dulu. Dulu saat menulis Catatan Pinggir konon Goenawan suka ngemil tempe. Jadilah aneka Catatan Pinggir yang lezat dan bergizi, serupa prosa yang puitis, atau serupa puisi yang prosaic, atau jangan-jangan ia telah menulis prosa liris? Anda tentu juga pernah membaca Gatoloco yang digubahnya, seperti juga Pariksit menyanyikan tembang Asmaradana menjadi Dongeng Sebelum Tidur yang diawali dengan ucapan “Cicak itu, cintaku bicara tentang kita. Yaitu nonsense”. Ya, nonsense seperti kependekan namanya yang disingkat GM (Goenawan Mohamad, General Manager, atau yang tak suka kepadanya menyebut kepanjangannya Gundul Monyet).

DI KOTA itu kata Goenawan, gerimis tak jadi logam, hanya hujan di hutan menderas ke luas lautan. Dan engkau pun bertanya, bagaimana mungkin jika gerimis lantas jadi logam? Tentu kota itu akan luka tercacah gelondongan dan batangan logam. Semua bias mati deh jika terkena godam. Memang benar kok.  Gerimis itu tak jadi logam, hanya lantaran gerimis terus menerus jadilah hujan di hutan yang tak lagi perawan (habis, banyak tangan telah menggundulinya, menyolong kayu-kayunya, menggali secara liar hasil buminya). Maka wajar saja to kalau hujan di hutan itu lantas menderas ke luas lautan?

TAHUKAH saat hujan menderas ke luas lautan itu, ternyata tak juga menghanyutkan koruptor, manipulator, maklar kasus, dan aneka kasus-kasus khusus yang diciptakan oleh oknum tertentu untuk mengalihkan perhatian. Rakyat yang perutnya ngelih (lapar) tetaplah merintih-rintih, sebab tak ada nasi dan yang ada hanyalah nasib buruk belaka. Arus hujan yang menderas tak juga mampu menyapu apa yang disebut Rendra sebagai “Pelacur-pelacur Kota Jakarta” sehingga membuat Subagio Sastrowardoyo  bilang begini, “Kalau aku pergi keluar negeri dik, karena jalan di kampung kita penuh rambu-rambu. Setiap orang bikin peraturan. Bikin undang-undang”. Padahal kataku, setiap membuat undang-undang selalu ada udang di balik tepung (: rempeyek udang).


Kota Beradat, 2010



"PIDATO" PENYAIR DI MIMBAR TERBAKAR
SERUPA PREDATOR KATA
TAK PERNAH MENGGEDOR DADA KORUPTOR
DAN PERTIWI MASIH BERDUKA HATI
AIR MATANYA BERLINANG DI BAWAH BENDERA SETENGAH TIANG


Saini KM dalam   "Pidato"nya mengatakan, "Terimalah hati penyair, betapa pucat dan gemetar pun ia; rabalah dengan telapak perasaan dan kenalilah dalamnya denyut demi denyut cintamu yang habis-habisan berjuang melawan kebencian,keangkuhan, khianat dan dengki; Wahai, kaum yang diceraikan oleh kepicikan dana wasangka tak ada tempat bertemu bagi kalian di dalam sajak: sebuah hati, betapa pucat dan tercincang pun ia adalah milikmu. Reguklah harapan dari ganga lukanya.

Jauh hari, Sanusi Pane di mimbar yang gemetar membaca SAJAK, katanya: Sajak itu bukannya dalam kata yang rancak, kata yang pelik kebagusan sajak. O, pujangga buang segala kata, yang kan cuma mempermainkan mata, dan hanya dibaca selintas lalu karena tak keluar dari sukmamu. Sajak itu seperti matahari mencintai bumi memberi sinar selama-lamanya; tidak meminta sesuatu kembali melainkan harus cintamu senantiasa. Lalu Subagio Sastrowrdoyo pun menimpali: Apakah arti sajak ini kalau anak semalaman batuk-batuk, bau vicks dan kayu putih melekat di kelambu, kalau istri terus mengeluh tentang kurang tidur, tentang gajiku yang tekor buat bayar dokter, bujang, dan makan sehari-hari; kalau terbayang saban malam aku lama terbangun: hidup ini makin mengikat dan mengurung. Ah, sajak ini mengingatkan aku kepada langit dan mega, kepada kisah dan keabadian, kepada pisau dan tali, kepada bunuh diri.

Lalu Dodong Djiwapradja berpidato juga tentang PUISI: kun fayakun, saat penciptaan kedua adalah puisi tertimba dari kehidupan yang kautangisi; bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari adalah puisi; udara yang kauhirupi, air yang kauteguki adalah puisi; kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli adalah puisi; gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali adalah puisi; dan dari setiap tanah yang kaupijak, sawah-sawah yang kaubajak katakanlah: sajak; puisi adalah manisan yang terbuat dari butir-butir kepahitan; puisi adalah gedung yang megah yang terbuat dari butir hati yang gelisah.

Sapardi Djoko Damono berpidato dengan suara lemah lembut: dengan rendah hati kuserahkan sajak kepada dunia sebab bukan lagi milikku. Tegaklah bagai seorang lelaki yang lahir dalam zaman yang riuh rendah dan memberontak; kulepas kau ke tengah pusaran topan dari masalah manusia, sebab telah dilahirkan tanpa ayah dan ibu dari jemariku yang papa; kaupun menjelma secara gaib wahai nurani alam; Kutolakkan kepada dunia nama baik serta nasibmu; aku tak lagi berurusan denganmu; sekali kau lahir dari tangan-tanganku, tegaklah seperti lelaki yang tanpa ibu-bapa mempertahankan nasibnya sendiri terhadap gergaji waktu. Lalu dengan suara yang menegas dan mengeras Sapardi mengakhiri pidatonya, SONET: HEI! JANGAN KAUPATAHKAN kuntum bunga itu, ia sedang mengembang;bergoyang dahan-dahannya yang tua yang telah mengenal  baik, kautahu, segala perubahan cuaca.

Yudhistira Ardi Nugraha tak mau kalah. Dengan mbelingnya langsung menuju mimbar dan berpidato: kamu bilang hidup ini brengsek, aku bilang biarin; kamu bilang hidup nggak punya arti, aku bilang biarin; kamu bilang aku nggak punya kepribadian, aku bilang biarin; kamu bilang aku nggak punya pengertian, aku bilang biarin; habisnya terus terang, aku nggak percaya sama kamu; tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana; cuman karena kamu merasa asing saja makanya kamu bilang seperti itu.... Pidato diteruskan oleh Taufiq Ismail. Katanya, dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti; Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala; Dengan puisi aku mengenang keabadian Yang Akan Datang; Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejam mengiris; Dengan puisi aku mengutuk nafas zaman yang busuk; Dengan puisi aku berdoa: Perkenankanlah kiranya.

(Usai pidato Taufiq Ismail membaca SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) dan GSM (Gerakan Syahwat Muncrat). Ia geram lalu kembali naik ke mimbar yang terbakar. Dimas Arika Mihardja (DAM) yang menyusun ulang teks pidato ini terdiam di sudut zaman mengeja arah langkah dan merumuskan siasat perjuangan menyebarkan virus cinta di dunia nyata dan di dunia maya, semoga tidak ada lagi yang menjadi mayat hidup).


Kota Beradat, 2010




BUKAN CERITA BURUNG

Membaca cerita "Lelaki Terpasung", aku teringat pisang yang menggantung. Saat itu lelaki tua yang disebut Kakek itu mandi bareng cucunya, bocah lugu dan lucu itu berseru, "Awas Kek, ada tokek di bawah selangkangan Kakek!".

Sang Kakek geragapan dan spontan berujar, "Yang menggantung ini bukan tokek, tapi pisang". Sang cucu yang lucu dan lugu pun bertanya, "Boleh kupegang dan kumakan Kek?" Sang Kakek pun menjawab sekenanya, "Boleh dipandang, dipegang jangan, apalagi dimakan anak kecil".

Kayak monyet aja cucuku yang lugu dan lucu itu, kalau lihat pisang suka keranjingan, gerutu kakek itu sembari berlalu.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010
+ Cerita ini sungguh bukan pengalaman penyair, kesamaan nama dan pelaku jangan ditiru ya?




PUISI KULINER "HISTERIOGRAFI MIE"

tahukah sosok mamofoku ando, bapak mie instan dunia?
pria berkebangsaan jepang ini lahir di taiwan 1911
dan di taiwan inilah lacak jejak histeriografi mie dimulai
catatlah dalam buku resep masakan kalian:
cellophane noodies, paduan kentang dan tepung kacang hijau
mie telur,  tepung terigu jenis hard wheat diperkaya dengan telur
somen noodies, paduan gandum dan minyak dengan teksture lembut
soba noodies, teksturenya keabu-abuan hijau teh cocok untuk mie kuah
rice vermicelli, dikenal sebagai bihun terbuat dari beras
hokkien noodies, mie hongkong rasa telur
ramen, mie keriting china
mie shoa, mie china juga berwarna putih terang
wonton, kulit pangsit ini berbentuk segi empat
rice stick noodies, disebut juga kwetiau

kalian tahu? adalah taiwan juga yang menolak indomie goreng
dan kita mulai belajar bahwa kecap tak selamanya nomor satu
tahukah kalian mie ditemukan pertama kali di daratan china 2000 tahun lalu saat dinasti han berkuasa. dari daratan china, mie lantas serupa virus yang menyebar ke jepang, korea, taiwan dan negara-negara di asia tenggara bahkan sampai ke daratan eropa. marcopolo saat ekspedisi ke china membawa oleh-oleh mie ini. dalam perkembangannya di eropa, mie ini berubah menjadi pasta. apapun namanya, mie merupakan perpaduan antara tepung, telur, dan air

setahun sebelum aku lahir, tepatnya pada 1958 mamofoku ando mengenalkan mie instan hingga survei tahun 2002 menunjukkan bahwa masyarakat di seluruh dunia setidaknya mengonsumsi 94 miliar porsi mie instan setiap tahunnya dan dapat dipastikan setiap orang pernah menyantap mie instan. meski bukan makanan asli indonesia, produksi mie instan terbesar dunia ada di indonesia, saking melimpah produk indonesia dan melimpah pula takaran kecap dan bumbunya pemerintah taiwan mengembalikan indomie yang disinyalir menumbuhkan penyakit!

pesan moral puisi ini: waspada dan berhati-hatilah!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010




"LHA, INI BARU BARU CERITA BURUNG"


Ini bukan cerita burung di dalam sarung, melainkan cerita burung yang membangun sarang. Setiap burung selalu berusaha membangun sarang dari serpihan rumbut, umbut, sering juga rambut turut tercampur dan mewarnai sarang burung. Jika di dalam sarang burung teranyam rambut, maka hampir dapat dipastikan sarang itu memiliki kelebihan. Pertama, sarang burung itu tak mudah rusak, sebab rambut tak bisa membusuk. Burung memang tahu bagaimana kualitas rambut. Burung suka memilih rambut keriting untuk dijadikan sarangnya. Jika pun menemu rambut yang lurus, burung-burung itu pun termenung, lunglai, lemes dan bingung "ke mana ya bisa me-rebonding rambut keriting?"

Kedua, keuntungan rambut bagi burung sudah sangat jelas. Rambut bagi burung disebut bulu. Burung yang dewasa, bulu-bulunya mulai lebat. Bulu-bulu itu tumbuh di sekujur tubuh dan melebat di bagian tubuh tertentu. Biasanya, apapun burungnya, tak peduli besar atau kecil ukurannya, panjang atau pendek di bagian kepala burung nyaris pelontos. Ada sih bulunya, hanya tingkat kelebatan dan kelembabannya berbeda jika dibanding bagian tubuh lainnya. Fungsi bulu bagi burung utamanya untuk berlindung.

Aku punya burung tak pernah murung. Burungku suka menyanyi di pagi hari. Saat senja tiba, burungku juga kumandikan. Saat gelap malam, kubiarkan burungku tidur-tiduran menikmati dingin angin malam. Saat diperlukan, kubangunkan burungku untuk menunaikan tugas dan kewajibannya, yakni menyanyi dan menari. Saat burungku menyanyi dan menari, hanya ada satu tangan yang berhak menariknya. Apakah kalian tahu, tangan siapakah yang berhak melirik dan menarik burungku? Jangan jawab sekarang, ini pekerjaan rumah masing-masing. Artinya, secara ideal di rumah masing-masing tergantung burung. Burung-burung itu sebaiknya terkurung dan biar tidak kedinginan persis pada sarangnya belitkanlah sarung. Lho, kenapa kalian tiba-tiba termenung? Pegang burung kalian masing-masing lalu masukkan dalam sarung sebagai sarangnya.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010




Catatan: Puisi ini dengan rapi saya simpan, terkadang saya bacakan di iven-iven sastra sebagai penyegar suasana. Apakah Anda menyukainya? Apa? Puisi biasa saja? Ya, begitu deh...HAYO, SIAPA TERTARIK MENDANAI UNTUK DIBUKUKAN? PASTI IMUT DAN LUCU DEH....

Kamis, 09 Februari 2012

DRAMATISASI PUISI "UPACARA GERIMIS"NYA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Naskah Pentas Usup Supriyadi

PEMAIN:
SUARA GAIB (Laki-laki "jelang senja")
SEORANG IBU (Perempuan "jelang senja")
PENARI (6 Orang, 3 Orang penari hujan, 3 orang penari tirai)
PESINDEN (Perempuan, bisa pula laki-laki)
ORANG-ORANG KECIL (Beberapa orang, minimal 5 orang, salah satunya berperan sebagai anak sekolah dan mahasiswa)
ORANG-ORANG BESAR (Beberapa orang, minimal 5 orang, salah satunya berperan sebagai Penguasa 1, Penguasa 2, Pengusaha, Pengaman)



LATAR DEKORASI:
Latar belakang warna hitam, ada tiang bendera dengan bendera terpasang setengah tiang, di depannya sebuah keranda, di sebelah kiri orang-orang besar, di sebelah kanan orang-orang kecil.



LAKON SATU BABAK


(LAYAR DIBUKA)


SUARA GAIB     
: (kutipan bait pertama sajak "Memorandum"-nya Dimas Arika Mihardja
dengan nada lirih)
usai sudah/ ruyati dipancung/
dan lainnya/ digantung/



KOR                   
: Huuu huu huu huu huu
Huuuuuuu huuuuuuuuuuuuuu (dengan irama lagu Gugur Bunga-nya Ismail Marzuki)



SEORANG IBU  
:  (Di tengah kor yang masih berlangsung, memvisualisasikan keadaan gelisah 
atas kehilangan seorang anak yang dicintainya)



SUARA GAIB    
: (kutipan sajak Upacara Gerimis-nya Dimas Arika Mihardja dengan nada lirih)
Pasukan hujan berbaris



PENARI             
: (Beberapa penari masuk dan mengitari aktris seorang ibu dan sesekali berputar dengan
kostum serba hitam sambil membawa papan spanduk kecil yang bergambarkan
buliran air hujan, sesekali ada efek petir menyambar dan gemuruh angin)



ORANG-ORANG KECIL 
: (Menatapi para penari dengan sebatang lilin menyala di tangan mereka)



SUARA GAIB    
: (kutipan sajak Upacara Gerimis-nya Dimas Arika Mihardja dengan nada lirih)
Pasukan hujan berbaris
Pandang matanya mengiris nurani
Mikrofon tegak di atas kehampaan



ORANG-ORANG BESAR 
: (Berlari menuju orang-orang kecil, lalu memadamkan nyala lilin yang ada pada
tangan mereka, tak ada perlawanan dari orang-orang kecil)



ORANG-ORANG KECIL (Anak Sekolah) 
:  "Pak, bagaimana cara membaca cuaca?"



ORANG-ORANG BESAR (PENGUASA 1) 
: (Seorang ajudan memberikan secarik naskah pidato, lalu ia
membacanya dengan suara yang dalam)
di balik semak kata-kata/ tergambar peta,/ tahta,/ dan mahkota/
maka/ kata tanya/ membentur meja/ para pemuja/
benda-benda nguap/ dalam sajak/ yang sesak/
oleh segala isak/ (kutipan sajak Catatan Perjalanan (5)-nya
Dimas Arika Mihardja) Maka, wahai orang-orang kecil
tenanglah... tenang... nang... nang... nang...(efek gemuruh angin)



ORANG-ORANG KECIL 
: (Mematung)



ORANG-ORANG BESAR (PENGUASA 2)            
: (Tertawa) Ha ha ha... Benar kata Penguasa 1
Tenanglah, tenang, nang, nang, lagian, siapa suruh jadi
pegawai di luar negeri? Siapa suruh bikin rumah di tepi
pantai, kalau ada ombak besar pasti kena, eh
kalau udah terjadi, kami lagi yang disalahkan! orang-
orang besar! Dan yang tinggal di lereng merapi, apalagi ha ha ha...
(efek petir dan kilat)



ORANG-ORANG BESAR (PENGUSAHA KAPITALIS)         
:  Siapa suruh mau jadi buruh? Tahu diri dong! Kami ini
nyari untung, tak peduli kalian buntung! Biarkanlah pengusaha memiliki
fleksibilitas dong! (efek suara
mesin produksi yang ada di sebuah industri)



ORANG-ORANG BESAR (PENGAMAN)          
: (efek suara letupan pistol beberapa kali)
Heiii! Dengar tidak orang-orang kecil? Kalian begitu
tidak bisa diatur! Sandal kami pun kalian embat!



ORANG-ORANG KECIL
: (Mereka mulai gusar, dan tidak hanya mematung, saling lirik dan berbisik
ada yang menggeleng kepala ada yang manggut-manggut, suasana kian gaduh)



ORANG-ORANG BESAR (PENGUASA 1) 
: (Mereka mulai khawatir, dan menyuruh penguasa 1 untuk
segera menenangkan orang-orang kecil) Tenang... tenang...
kalian tidak perlu bimbang, saya akan usahakan... (membaca
sajak "Kepada Lembah dan Batang"-nya Usup Supriyadi)
kepada batang yang tunggal
kepada lembah yang punggal
: marilah kita sejenak tiarap
mendaratkan harap, menikmati apa yang tampak!



PESINDEN                                                    
: (Menembangkan kutipan sajak "Pada Tirai yang Melambai"-nya
Dimas Arika Miharja dengan gaya cianjuran yang
menyayat, kalau memungkinkan dengan diiringi alat musik
kecapi atau seruling)
Pada tirai yang melambai/ terasa ada badai... (penari kedua
memasuki panggung dengan membawa tirai yang dilambai-
lambaikan di antara penari pertama, seorang ibu, dan
keranda dengan gaya tarian gusar)
Lalu mayat-mayat terkulai/ pucatpasi (para penari
berkaparan) tiada suara/ tawa dan canda/ di sini/ semua fana
semata/ hanya seremoni belaka:/ doadoa sederhana/
mengangkasa



ORANG-ORANG BESAR (PENGUASA 1) 
: Mari kita mengheningkan cipta!
Mengheningkan cipta mulai! (Semua merunduk)



KOR                                                              
: Huuu Huuuu Huuuuu Huuuuu (dengan irama lagu
mengheningkan cipta-nya T. Prawit)



SEORANG IBU                                            
: (kutipan sajak Senja di Citayam-nya Asep Sambodja)
saat tubuh kian rapuh/ apa sebaiknya menunggu?/
aku tak ingin menunggu/ aku ingin terus berlari/
dan terus berlari/ sampai nanti/ sampai mati/
(dengan nada pilu dan bersimpuh menghadap keranda)



ORANG-ORANG KECIL (Mahasiswa)   
: (Berorasi, dengan semangat Bung Tomo, kutipan sajak
Menjelang Liburan-nya Dea Anugerah)
seribu hari/ kami tegak berdiri/ sebagai para petani. sebagai
orang-orang/ yang mengikateratkan serbuksari/ pada
putikpuitik/ bunga matahati/ yang bersemai/ dan bertumbuh/
menjadi himne rindu./ kami./ persembahkan./ pada./ ibu./
hari ini./ hari ini/



ORANG-ORANG KECIL                        
: (Mereka menghampiri seorang ibu, menyiumi tangannya,
lepas itu seorang anak mencoba melawan penguasa 1, tiba-
tiba Pengaman menembaknya hingga tewas, semua menjerit)



ORANG-ORANG BESAR (Penguasa 2)  
: Siapa lagi berani melawan? (tantangnya sambil tertawa)



SUARA GAIB                      
: (kutipan sajak  kutipan sajak Upacara Gerimis-nya Dimas Arika Mihardja dengan nada lirih)
pasukan hujan berbaris (penari hujan kembali bangkit, menari di antara kerumunan seorang ibu, keranda, dan orang-orang kecil yang meratapi korban tembak) pandang matanya mengiris nurani
mikrofon tegak di atas kehampaan
menyimpan aneka suara aneka irama
basah disiram resah
komandan upacara-ibu pertiwi
sedang bersedih hati
upacara kenduri tak usai
tak sampai tak terpahami
o, air mataku berlinang
nyanyikan bendera stengah tiang!



PESINDEN
: (Menembangkan kutipan sajak "Pada Tirai yang Melambai"-nya Dimas Arika Mihardja dengan gaya cianjuran yang menyayat, kalau memungkinkan dengan diiringi alat musik kecapi atau seruling)
pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
(orang-orang kecil bangkit dan memvisualisasikan perlawanan kepada orang-orang besar, penari hujan dan tirai menari di sekitar tiang bendera dan keranda)
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak henti-henti mencumbui
karang, teripang, juga segala bayang



SUARA GAIB
: (efek petir, letupan pistol, jerit tangis, orang-orang kecil dan besar sama-sama tidak sadar, saling tampar)
jika dada rasa sesak! tuak menggelegak! jangan campakkan sajak-sajakNya! (kutipan bait akhir sajak sederhana untukmu karya Dimas Arika Mihardja dengan nada suara yang tinggi!)



PESINDEN
: (kutipan sajak Tableau Menjelang Malam-nya Taufiq Ismail)
abu-abu/ langit hitam/ dan sten (stengun?)/
menunggu/
lalu lintas sepi/ (suara-suara orang-orang kecil dan besar mulai samar)
semua menanti
jendela bertutupan
apa yang akan terjadi
di sini
semua menanti



SUARA GAIB
: (kutipan bait akhir sajak Salemba-nya Taufiq Ismail)
anak(mu) yang berani
telah tersungkur ke bumi
ketika melawan tirani



(Layar Tertutup)

Akhirnya, selesai juga belajar buat naskah dramanya.

Bogor, Februari 2012

Sabtu, 04 Februari 2012

KI AGENG SELO DAN PETIR

Naskah Pentas: Kajitow Rl-kayeni

Aktor: 
Ki Ageng Selo
Petir
Prajurit 1
Sultan Demak
Penasehat 1
(peran tambahan)

Adegan I

(Narasi sebelum drama dimulai) Dusun Selo yang unik dengan kesederhanaannya. Tempat yang dulu hanyalah tanah gersang yang dihuni beberapa kepala keluarga kini telah berubah menjadi ramai. Semua itu berkat pengaruh Ki Ageng Selo yang memiliki kesaktian tinggi. Tersebutlah beberapa muridnya menjadi ksatria yang disegani, termasuk Mas Karebet atau Joko Tingkir. Sebagai seorang guru ilmu kanuragan dan kebatinan yang sakti mandra guna, Ki Ageng tidaklah ingin melebih-lebihkan kemampuannya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, cicit Prabu Brawijaya itu lebih tampak sebagai petani biasa yang tekun menggarap sawahnya. Begitulah kerendahan hati Ki Ageng Selo. Pengaruhnya yang kuat tidak membuatnya lupa diri dan jumawa.

Seperti kebiasaannya setiap hari, Ki Ageng tetap pergi ke sawah meski cuaca sedang tidak bersahabat. Selama berhari-hari hujan terus saja turun diiringi petir dan guruh yang menggila. Aneh sekali prilaku petir itu, biasanya kejadian petir menyambar hanya terjadi sekali pada pohon yang tinggi. Itu pun jarang sekali terjadi. Tapi kali ini tidak hanya di sawah, rumah-rumah penduduk pun ada yang tersambar.

(efek lampu yang menyorot seorang aktor maju ke tengah panggung dan memakai atribut petani lengkap dengan cangkul)

(efek petir dan suara guntur)

Ki Ageng Selo: (Terhenyak dan berhenti mencangkul, tiba-tiba petir dengan cepat menyambarnya.)

(narasi) Orang orang di dusun berhamburan keluar rumah begitu suara gelegar itu berhenti. Mereka segera tahu jika petir itu menyambar seorang yang paling disegani di dusun Selo. Ki Ageng Selo, tokoh sakti yang sendirian di tengah amukan hujan guntur. Tapi bukan Ki Ageng Selo jika hangus tersambar petir. Bahkan di tengah sawah itu dia sedang bergulat mencengkeram petir yang bergerak-gerak menyambar-nyambar dengan hebat. Pakaiannya compang-camping tersengat petir itu. Capingnya telah terpelanting jauh dari kepalanya. Tanah sawah yang menopang tubuhnya membentuk kawah lebar. Pohon-pohon di pematang besar tersibak daunnya. Begitu juga dengan angin yang berkesiur menderu di areal persawahan.

 (efek petir dan guntur)

Ki Ageng Selo: “La haula wala quwwata illa billah... apa maumu wahai petir? Kenapa kau membuat desa ini kacau!?” (terus mencengkeram petir yang bergolak tak menentu itu. Mantra terus dirapalnya untuk melemahkan petir tersebut.)

(Setelah seluruh daya terkuras, petir itu menjelma seorang kakek tua dengan sorot mata menyala-nyala. Ki Ageng Selo tidak terpengaruh dengan jelmaan itu. Pandangannya menerobos tubuh tua yang sedang dicekal lehernya itu.)

Petir: “Aku diperintah untuk demikian. Bukan urusanmu menanyakannya!” (dengan suara serak dan berat)

Ki Ageng Selo: “Jumawa!” (pandangan melotot, roman merah)

Petir: “Memang apa yang bisa kau lakukan, ha!? Manusia hanya mementingkan dirinya dan tidak mau ingat pada nikmat Tuhannya.” (diam sejenak) 

Ki Ageng Selo: “Ada manusia baik dan ada yang jahat. Tidak berarti yang baik harus ikut dihukum bersama yang jahat.”

Petir: “Terserah.”

Ki Ageng Selo: (tampak sedang berpikir) “Baiklah, akan kuserahkan kau ke Demak Bintoro untuk diadili.”

Petir: “Apa!?

Ki Ageng Selo: “Iya, Demak Bintoro.” (tersenyum mengejek petir)

Petir: (tertawa keras) “Bukankah engkau menaruh dendam pada mereka?”

Ki Ageng Selo: “Kau akan segera tahu. Kehadiranmu adalah tanda yang sudah lama aku tunggu.”

Petir: (diam dan memandang Ki Ageng Selo dengan pandangan mata menyala. )


Adegan II

(lampu menyala, muncul ki ageng selo, dan beberapa orang dari kesultanan Demak Bintoro)

Prajurit 1: “Kau siapa? Mahluk apa in-ni?” (suaranya gemetar dan ketakutan melihat petir yang telah menjelma menjadi sosok tua yang aneh)

Ki Ageng Selo: “Aku Ki Ngabdurahman dari Selo.” (diam sejenak dan menoleh ke arah sosok tua jelmaan petir) “Ini jelmaan petir yang aku tangkap karena mengacau di dusun Selo.

Prajurit 1: “Kau!?” (mencoba berpikir keras) “Kau yang dulu membunuh banteng dalam pendaftaran prajurit itu ya?” (ketakutan.)

Ki ageng Selo: “Iya.”

Prajurit 1: “Apa kau ingin mengacau di sini?” (panik dan menggenggam erat-erat tombaknya.)

Kia ageng Selo: “Tidak. Sampaikan pada Sultan, Petir ini aku persembahkan sebagai tawanan.”

(beberapa prajurit berbisik-bisik. Prajurit 1 masuk ke dalam kerajaan.)


Adegan III


(lampu kembali menyala, beberapa orang muncul)

Prajurit 1: “Hamba ingin melapor Paduka.”

Sultan Demak: “Ada apa prajurit?”

Prajurit 1: “Di luar ada Ki Ngabdurahman dari Selo. Datang ke Demak untuk mempersembahkan mahluk yang dikatakannya jelmaan dari petir.”

Sultan Demak: (kaget, dia berdiri dari kursi singgasananya. Bergumam) “Inikah pertanda dari permulaan munculnya trah Brawijaya itu? Inikah tanda akan segera berdiri Kerajaan Mataram baru?”

Penasehat 1: “Jangan Takut Kanjeng Sultan. Sebaiknya beliau disambut dengan baik sebagai tamu Sultan. Jika memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa maka itulah yang akan terjadi kelak.”

Sultan Demak: (merenung sejenak. Kemudian menghadap pada penasehat.) “Apakah semua ini akan berakhir sekarang Sunan? Apakah kerajaanku ini akan hancur?”

Penasehat 1: “Tidak Sultan, Ki Ageng Selo hanya membawa bibit Keprabon. Keturunannya kelak yang akan menjadi penguasa tanah jawa.”

Sultan Demak: (kembali duduk di kursi singgasana. Wajahnya lesu.) “Baiklah, kita akan menyambutnya.”


Adegan IV


(lampu menyala. Beberapa orang keluar ruangan menemui ki ageng selo)

Ki Ageng Selo: “Maafkan saya Kanjeng Sultan, ini saya bawa tawanan yang mengacau di dusun hamba.”

Sultan Demak: (tersenyum getir, merasa bersalah dan malu melihat kesaktian ki ageng selo.) “Saya meminta maaf pada Ki Ageng karena dulu pernah menolakmu menjadi prajurit Demak Bintoro. Semoga ini tidak menumbuhkan dendam di antara kita.”

Ki ageng Selo: “Hamba bukan pendedam Kanjeng, beginilah mungkin kehendak Gusti Allah. Hamba bahagia menjadi seorang petani.”

Sultan Demak: “Baiklah, saya akan mengurung petir ini agar tidak mengganggu rakyat.” (diam sejenak, menoleh ke belakang.) “Prajurit, cari orang untuk menggambar wujud petir ini, lalu ukirlah di pintu masuk Masjid Agung untuk mengenang jasa Ki Ageng Selo.”

(petir itu berubah-ubah wujud. Semua orang keheranan. Masuklah nenek tua membawa air dalam kendi dan menyiramkan ke sosok yang berubah-ubah bentuk itu. Kerangkeng meledak. Sosok petir dan nenek tua lenyap.)

(lampu padam)

Selesai.